Hukuman denda, seringkali menjadi alternatif hukuman penjara, kerap menimbulkan pertanyaan mendalam tentang esensinya. Apa sebenarnya pengertian denda dalam konteks hukum pidana? Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian denda, dasar hukumnya, serta berbagai teori pemidanaan yang melandasinya.
Hukuman denda merupakan salah satu jenis pidana pokok dalam sistem hukum pidana Indonesia. Penerapannya menjadi perdebatan karena berbagai pertimbangan, termasuk efektivitasnya sebagai hukuman dan dampaknya terhadap sistem peradilan.
Pengertian Denda
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, denda diartikan sebagai hukuman berupa pembayaran sejumlah uang atas pelanggaran kewajiban. Istilah serupa ditemukan dalam bahasa Inggris (fine) dan Arab (ta’widh), keduanya merujuk pada ganti rugi atau hukuman finansial atas pelanggaran.
Fathi al-Duraini, pakar fikih dari Universitas Damaskus, mendefinisikan ta’widh sebagai hukuman yang ditentukan penguasa, sesuai kemaslahatan dan tujuan syariat, untuk berbagai pelanggaran yang bukan termasuk hudud atau kafarat. Ini mencakup pelanggaran yang merugikan masyarakat umum atau individu.
Intinya, denda adalah sanksi berupa pembayaran uang atas pelanggaran norma atau undang-undang. Pembayaran denda menjadi konsekuensi jika penyelesaian masalah dengan pihak terkait tidak tercapai. Pihak ketiga seringkali dilibatkan dalam penagihan denda.
Dasar Hukum dan Syarat Penggunaan Hukuman Denda
Pendapat ulama fikih terkait penerapan denda terbagi dua. Sebagian melarang, sementara sebagian lagi membolehkannya.
Ulama Mazhab Hambali (termasuk Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah), mayoritas ulama Mazhab Maliki dan Hanafi, serta sebagian ulama Syafi’i, membolehkan hakim menetapkan denda untuk tindak pidana ta’widh. Alasannya merujuk pada riwayat Bahz bin Hukaim tentang zakat unta.
Syarat penggunaan hukuman denda, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, terkait dengan ingkar janji. Pasal 36 menyebutkan seseorang dianggap ingkar janji jika: tidak melakukan janji, melaksanakan janji berbeda dari kesepakatan, melakukan janji terlambat, atau melakukan hal yang dilarang perjanjian.
Sanksi atas ingkar janji meliputi ganti rugi, pembatalan akad, peralihan risiko, denda, dan biaya perkara. Sebagian fuqaha mensyaratkan denda bersifat ancaman, yaitu menahan uang terpidana hingga perilaku membaik. Jika membaik, uang dikembalikan; jika tidak, diinfakkan.
Hakim dapat menjatuhkan denda jika dirasa tepat dan efektif mencegah terulangnya tindak pidana. Penentuan hukuman harus mempertimbangkan kepribadian terpidana dan lingkungannya untuk mencapai tujuan syariat.
Pasal-Pasal Tentang Denda
1. Pasal 362 KUHP
Pasal ini mengatur tentang pencurian. Barang siapa mengambil barang milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus ribu rupiah.
2. Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor
Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Setiap orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun maksimal 20 tahun, serta denda minimal 200 juta rupiah dan maksimal 1 miliar rupiah.
Teori Pemidanaan
Penerapan denda sebagai hukuman pidana didasari beberapa teori pemidanaan.
1. Teori Absolut/Teori Pembalasan
Teori ini berfokus pada pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan sekadar tindakan praktis, melainkan keharusan sebagai pembalasan atas kesalahan.
Teori ini menekankan bahwa sanksi dijatuhkan semata-mata karena adanya kejahatan, bertujuan memuaskan tuntutan keadilan. Pembalasan bisa subjektif (terhadap kesalahan pelaku) atau objektif (terhadap dampak kejahatan di masyarakat).
Pidana dijatuhkan tanpa mempertimbangkan manfaat praktisnya. Setiap kejahatan harus dihukum, tanpa mengutamakan aspek pencegahan atau perbaikan pelaku.
2. Teori Relatif atau Tujuan
Teori ini memandang pidana sebagai alat penegakan hukum dan ketertiban di masyarakat. Tujuannya bukan sekadar pembalasan, tetapi juga pencegahan dan perbaikan pelaku.
Teori ini menekankan tujuan preventif (melindungi masyarakat), deterrence (menakutkan pelaku dan publik), dan reformatif (merubah perilaku pelaku). Kejahatan tidak selalu harus dihukum, tergantung manfaat pidananya bagi masyarakat dan pelaku.
Perbaikan pelaku meliputi aspek yuridis (ketaatan hukum), intelektual (perubahan cara berpikir), dan moral (peningkatan moralitas). Fokusnya pada masa depan, bukan hanya masa lalu.
3. Teori Gabungan/Modern
Teori ini menggabungkan prinsip absolut (pembalasan) dan relatif (tujuan). Pemidanaan sebagai kritik moral atas kesalahan, sekaligus sebagai upaya reformasi dan perubahan perilaku.
Teori ini menekankan pemberantasan kejahatan sebagai gejala sosial, mempertimbangkan hasil studi antropologi dan sosiologi. Pidana sebagai sarana efektif pemberantasan kejahatan, namun tidak berdiri sendiri, melainkan dikombinasikan dengan upaya sosial.
Tujuan utama pemidanaan adalah memberantas kejahatan, memberikan penderitaan jasmani dan psikologis, serta memberikan pendidikan dan pembinaan. Teori ini lahir karena kelemahan teori absolut dan relatif yang terlalu fokus pada satu aspek saja.
Kesimpulannya, pemilihan teori pemidanaan menentukan jenis dan tujuan hukuman, termasuk denda. Tujuan pemidanaan bisa bersifat perbaikan bagi pelaku tindak pidana ringan, atau bersifat penjeraan dan pembalasan bagi pelaku tindak pidana berat yang membahayakan masyarakat.
Semoga uraian ini memberikan pemahaman komprehensif mengenai denda dan teori pemidanaan yang relevan. Memahami hal ini penting dalam upaya penegakan hukum yang adil dan efektif.
Leave a Reply
View Comments